BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Peranan dunia
pendidikan terhadap anak
berkebutuhan khusus semakin meningkat. Hal
ini dikarenakan jumlah
anak yang mengalami
masalah psiko-emosional meningkat,
kesadaran yang meningkat
dari berbagai pihak,
dan penelitian serta pelatihan yang mendukung. Terdapat sekitar 20%
lebih anak yang berusia 10-15 tahun di
negara-negara Barat mengalami masalah psiko-emosional (Henning Rye,
2007). Sindroma down
merupakan kelainan yang
paling sering terjadi. Angka
kejadian kelainan ini
mencapai 1 dalam
1000 kelahiran.
Di Indonesia, prevalensinya lebih
dari 300 ribu jiwa. Saat ini, telah
tersedia program intervensi
dini berupa tempat pengasuhan/kelompok bermain
dan berbagai strategi
pendidikan khusus
terintegrasi yang memungkinkan anak
lebih berpartisipasi aktif
dalam kegiatan belajar.
Model pendidikan terbaru
telah meningkatkan penekanan
atas kualitas interaksi di
sekolah inklusif antara
guru dan para pihak
berkepentingan seperti orang tua
siswa dan administrator. Sementara itu, interaksi yang berkualitas dalam proses
pembelajaran merupakan representasi dari cara
terbaik dalam menghadapi anak. Namun,
proses pembelajaran itu
tidak terlepas dari
kerangka awal pendidikan secara
umum, yaitu mengacu kepada
kurikulum dan program
yang terpadu bagi semua siswa.
I.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
- Bagaimana cara memberi pemahaman kepada orang tua
siswa untuk memahami anaknya yang ABK ?
- Apakah harus di dalam sekolah inklusi memiliki
beberapa guru pedamping? Sedangkan guru yang berada di lingkungan tersebut
sudah memiliki ijazah PLB?
I.3
TUJUAN
Tujuan :
- Meningkatkan wawasan pendidikan anak berkebutuhan
khusus.
- Menjabarkan pengertian berbagai kategori anak
berkebutuhan khusus sesuai dengan hasil kunjungan atau observasi.
- Mengidentifikasi cirri-ciri berkebutuhan khusus
sesuai kategorinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TUNANETRA
a.
Pengertian Tunanetra
Secara harafiah tunanetra
berasal dari dua kata, yaitu: a) Tuna (tuno:Jawa) yang berarti rugi yang
kemudian diidentikan dengan rusak, hilang, terhambat, terganggu tidak memiliki
dan b) Netra (netro:Jawa) yang berarti mata. Namun demikian kata tunanetra
adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang berarti adanya kerugian yang
disebabkan oleh kerusakan atau terganggunya organ mata, baik anatomis maupun
fisiologis.
Secara umum, istilah tunanetra
digunakan untuk menggambarkan tingkatan kerusakan atau gangguan penglihatan
yang berat sampai pada yang sangat berat, yang dikelompokkan secara umum
menjadi buta dan kurang lihat. Sebagian ahli mengelompokkannya menjadi kurang
lihat (low vision), buta (blind), dan buta total (totally
blind). Perlu anda pahami bahwa kerusakan yang terjadi pada organ
penglihatan (mata) dapat meliputi kerusakan yang ringan sampai yang sangat
berat. Anak yang memilki kerusakan ringan pada penglihatannya (seperti myopia
dan hypermetropia) masih dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata dan
bisa mengikuti pendidikan seperti anak yang lainnya, secara umum tidak
dikelompokkan pada tunanetra.
B.
KLASIFIKASI TUNANETRA
1.
Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan (Visus)
a)
Tingkat ketajaman 20/20 feet – 20/50 feet (6/6 m – 6/16 m)
Pada tingkat
ketajaman penglihatan ini masih digolongkan tunanetra taraf ringan dan masih
dapat mempergunakan mata relatif secara normal. Kemampuan pengamatan visual
masih cukup baik dan dapat mempergunakan alat bantu pendidikan secara normal.
b)
Tingkat ketajaman 20/70 feet – 20/200 feet (6/20 m – 6/60 m)
Istilah
tunanetra kurang lihat (low vision) ada pada tingkat ketajaman ini.
Dengan memodifikasi obyek atau benda yang dilihat atau menggunakan alat bantu
penglihatan tunanetra masih terkoreksi dengan baik, disebut juga tunanetra
ringan (partially sight).
c)
Tingkat ketajaman 20/200 feet atau lebih (6/60 m atau lebih)
Ketunanetraan
sudah digolongkan tingkat berat dan mempunyai taraf ketajaman penglihatan: a).
Tunanetra masih dapat menghitung jumlah jari tangan pada jarak enam meter, b).
Tunanetra mampu melihat gerakan tangan dari instruktur, c). Tunanetra hanya
dapat membedakan terang dan gelap.
d)
Tingkat ketajaman 0 (visus 0)
Adalah
mereka yang buta total yang sama sekali tidak memiliki rangsangan cahaya bahkan
tidak bisa membedakan terang dengan gelap.
2.
BERDASARKAN SAAT TERJADINYA
a)
Tunanetra sejak dalam kandungan (prenatal)
Hal ini terjadi
pada kasus ibu hamil yang menderita penayakit menular ke janin, saat hamil
terjatuh, terjadi keracunan makanan atau obat-obatan ketika sedang mengandung,
karena serangan virus misalnya taxoplasma, atau orang tua yang menurunkan
kelainan (hereditar).
b)
Tunanetra terjadi pada saat proses kelahiran (natal)
Kelainan
tunanetra yang mungkin disebabkan oleh kesalahan pada saat proses kelahiran,
misalnya: anak sungsang, proses kelahiran yang lama sehingga bayi terjepit atau
kurang oksigen atau karena bantuan alat kelahiran berupa penyedotan atau
penjepitan.
c)
Tunanetra terjadi setelah kelahiran (postnatal)
Dapat
terjadi dari bayi (setelah lahir) hingga dewasa, hal ini dapat sisebabkan oleh
misalnya kecelakaan benturan, trauma (listrik, kimia, suhu atau sinar yang
tajam), keracunan, penyakit akut yang diderita.
3.
BERDASARKAN ADAPTASI PENDIDIKAN
Klasifikasi
tunanetra ini tidak didasarkan pada hasil tes ketajaman penglihatan,
tetapi didasarkan pada adaptasi/penyesuaian pendidikan khusus yang sangat
penting dalam membantu mereka belajar atau diperlukan dalam membantu layanan
pendidikan yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya. Klasifikasi ini
dikemukakan oleh Kirk (1989: 348-349), yaitu sebagai berikut:
a)
Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability)
Pada taraf
ini, mereka dapat melakukan tugas-tugas visual yang dilakukan oleh orang “awas”
dengan menggunakan alat bantu khusus dan dibantu dengan pemberian cahaya yang
cukup.
b)
Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability)
Pada taraf
ini, mereka memiliki kemampuan penglihatan yang kurang baik atau kurang akurat
meskipun dengan menggunakan alat bantu visual dan modifikasi sehingga mereka
membutuhkan lebih banyak waktu dan energi dalam melakukan tugas-tugas visual.
c)
Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability)
Pada taraf
ini mereka mendapat kesulitan untuk melakukan tugas-tugas visual, dan tidak
dapat melakukan tugas-tugas visual yang lebih detail, seperti membaca dan
menulis huruf “awas”. Dengan demikian, mereka tidak dapat menggunakan
penglihatannya sebagai alat pendidikan sehingga indra peraba dan pendengaran
memgang peranan penting dalam menempuh pendidikannya.
C.
PENYEBAB TERJADINYA TUNANETRA
1.
Faktor Internal
Faktor
internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam diri individu,
yang sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar terjadi
pada perkawinan antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.
2.
Faktor Eksternal
a)
Penyakit rubella dan syphilis
Rubella atau
campak Jerman merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus yang sangat
berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis. Apabila seoarng ibu terkena
rubella pada tri semester pertama (3 bulan pertama) maka virus tersebut dapat
merusak pertumbuhan sel-sel pada janin dan merusak jaringan pada mata, telinga
atau organ lainnya sehingga kemungkinan besar anaknya lahir tunanetra
atau tuna rungu atau berkelainan lainnya. Demikian juga dengan syphillis
(penyakit yang menyerang alat kelamin), apabila penyakit itu terjadi pada ibu
hamil maka akan merambat kedalam kandungan sehingga dapat menimbulkan kelainan
pada bayi yang dikandungnya atau bayi tersebut akan terkena penyakit ini
sewaktu dilahirkan.
b)
Glaukoma (Glaucoma)
Glaukoma
merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan yang berlebihan pada bola mata.
Hal itu terjadi karean struktur bola mata yang tidak sempurna pada saat
pembentukannya dalam kendungan. Kondisi ini ditandai dengan pembesaran bola
mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata, dan merasa silau.
c)
Retinopati diabetes (Diabetic retinopathy)
Retinopati
diabetes merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam
siplai/aliran darah pada retina. Kondisi ini disebabkan oleh adanya penyakit
diabetes.
d)
Retinoblastoma
Retinoblastoma
merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina, dan sering ditemukan pada
anak-anak. Gejala yang dapat dicurigai antara lain, menonjolnya bola mata,
adanya bercak putih pada pupil, strabismus (juling), glaukoma, mata sering
merah, atau penglihatannya sering menurun.
e)
Kekurangan vitamin A
Vitamin A
berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Dengan vitamin A, tubuh lebih
efisien dalam menyerap protein yang dikonsumsi. Kekurangan vitamin A akan
menyebabkan kerusakan pada matanya, yaitu kerusakan pada sensitifitas retina
terhadap cahaya (rabun senja) dan terjadi kekeringan pada konjungtiva bulbi
yang terdapat pada celah kelopak mata, disertai pengerasan dan penebalan pada
epitel. Pada saat mata bergerak, akan tampak lipatan [ada konjungtiva bulbi.
Dalam keadaan ini parah hal tersebut dapat merusak retina, dan apabila
dibiarkan akan terjadi ketunanetraan.
f)
Terkena zat kimia
Di samping
memberikan manfaat bagi manusia, zat-zat kimia juga dapat merusak apabila
penggunaanya tidak hati-hati. Zat kimia tertentu, seperti zat etanol dan
aseton, apabila mengenai kornea, akan mengakibatkan mata kering dan terasa
sakit. Selain itu zat-zat lain, seperti asam sulfat dan asam tannat yang
mengenai kornea akan menimbulkan kerusakan bahkan mengakibatkan ketunanetraan.
g)
Kecelakaan
Kecelakaan
menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan ketunanetraan apabila
kecelakaan tersebut mengenai mata atau saraf mata. Benturan keras mengenai
saraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata dapat menyebabkan
gangguan penglihatan bahkan ketunanetraan.
4. CIRI-CIRI TUNANETRA
·
Mata merah secara terus-menerus.
·
Mata kelihatan menjijihkan, berkerut, suram,
sakit, atau mempunyai problem nyata lainnya.
·
Salah satu atau kedua pupilnya kelihatan
abu-abu atau memutih.
·
Mata tidak dapat mengikuti objek dan cahaya
yang bergerak di depannya. Hal ini dapat dideteksi sejak usia tiga bulan.
·
Sejak usia tiga bulan, anak tidak dapat
menggapai sesuatu yang terdapat di depannya, kecuali kalau objek tersebut
bersuara atau dapat teraba.
·
Arah mata menyeberang atau satu membelok ke
dalam dan satu lagi keluar, atau bergerak berlainan arah satu dari yang lain.
·
Anak sering berkedip atau separo kelopak mata
menutup matanya.
·
Pada waktu bergerak atau berjalan dengan anak
lain, anak perlahan-lahan menggunakan tangannya
·
Apabila berjalan sendiri sering tersandung dan
menabrak sesuatu atau kelihatan kagok.
·
Anak tertarik objek, gambar, dan buku yang
menyolok warnanya, atau meletakkan barang-barang tersebut sangat dekat dengan
mukanya.
·
Di sekolah anak tidak dapat membaca tulisan di
papantulis, atau tidak dapat membaca tulisan pada buku.
·
Cepat capek atau sakit kepala pada waktu
membaca.
·
Mempunyai kesulitan melihat setelah mal
5.
CARA MEMBIMBING ANAK
Program
bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan
kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:
1. Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun
dari sisi interaksi orang per-orang.
2. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
3. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman
kognitif, afektif dan psikomotornya.
4. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal
yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
5. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan
kontak.
6. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan
dilakukan dengan teman sebaya.
7. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian
individu.
8. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini
dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang
berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang
dewasa.
kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:
1. Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun
dari sisi interaksi orang per-orang.
2. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
3. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman
kognitif, afektif dan psikomotornya.
4. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal
yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
5. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan
kontak.
6. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan
dilakukan dengan teman sebaya.
7. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian
individu.
8. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini
dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang
berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang
dewasa.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
A.
PENUTUP
Pada
prinsipnya, anak berkebutuhan
khusus dapat belajar
di sekolah umum. Namun, dalam
melaksanakan pembelajarannya dibutuhkan keterampilan interaksi yang berkualitas
bagi pihak guru terhadap anak maupun orang tua. Anak berkebutuhan
khusus memiliki permasalahan
yang khas dibandingkan dengan
anak-anak normal lainnya.
Guru perlu memahami bagaimana menyikapi permasalahan
tersebut terutama untuk anak yang menderita tunanetra.. Tidak selamanya guru
bersikap demokratis. Dalam konsep interaksi terhadap anak, diperlukan ketegasan
yang disebut dengan sikap otoritatif. Sikap ini ditandai dengan cara dewasa
dalam memperlakukan anak sesuai dengan nilai-nilai dan pribadi guru yang
professional.
Pengembangan program bagi anak
berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah umum pada prinsipnya sama.
Walaupun ada beberapa hal yang menjadi perhatian, misalnya dalam program
remedial dan pengayaan serta layanan individual. Lebih jelasnya lagi, guru
perlu memahami perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program sebagai unjuk
kerjanya di sekolah. Dengan demikian, di satu
sisi guru dapat
menjalankan kewajibannya, di sisi
lain otoritas dan hak pribadinya muncul.
B.
KESIMPULAN
Anak berkebutuhan khusus (ABK) harus kita
bimbing dengan benar dan harus dengan kesabaran sesuai keahlian yng dimiliki
oleh pembimbing masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi,
Purwaka. 2007. Komunikasi Aktif Bagi Tunanetra aktifitas dalam pembelajaran
pada sistem pendidikan inklusif. Jakarta : departemen Pendidikan Nasional
Hadi,
Purwaka. 2007. Komunikasi Aktif Bagi Tunanetra aktifitas dalam pembelajaran
pada sistem pendidikan inklusif. Jakarta : departemen Pendidikan Nasional
http://chiechie-rezkyq.blogspot.com/2012/06/makalah-anak-berkebutuhan-khusus.html
kita anak berkebutuhan khusus jga gan, butuh duit banyak bet smstran..
BalasHapus